Hari berikutnya tetap sama. Hujan pecah sejak pagi. Hujan bulan ini sangat setia menemani sepanjang senja di bulan November. Tempat duduk halte sudah panas, bergesekan dengan kain sifon milikku. Aku mengubah posisi dudukku setiap menit sekali. Bukan apa, aku hanya ingin memecah kebosanan. Earphone menggantung pasrah dari telingaku. Ku atur volumenya melebihi aturan seharusnya. Aku marah, aku bosan, aku benci hujan. Aku hanya ingin menangis.
Lagi dan lagi, mobil tua papa membuatku harus terjebak disini.
Hal yang paling membuatku muak adalah papa, keputusan papa yang tidak pernah mengizinkanku hanya untuk sekedar naik bus. Jangan tanya mengapa aku tidak bertanya, aku sudah bertanya, dan hasilnya? Khotbah panjang lebar tentang tidak amannya angkutan umum untuk gadis seusiaku. Preman, perampok, makhluk mesum, seakan di otak papaku bus adalah sarang para monster yang akan melahap gadis kecilnya.
"Aku bukan anak kecil, papa! Aku sudah enam belas tahun! Aku bisa menjaga diriku sendiri!" begitu setiap kali aku meneriaki papaku. Aku tau ini salah, aku tau papaku selalu mengkhawatirkanku, aku tau, aku tau bahwa keramaian adalah ketakutan terbesar papa. Aku tau papa hanya takut kehilangan satu lagi perempuan yang dicintainya. Tapi bagiku, seorang remaja yang butuh kebebasan penuh, aku terkekang.
Sepuluh tahun lalu, mamaku sedang tersenyum di tengah festival kembang api. Senyumnya lebih terang daripada kembang api yang meledak di udara.
Tangannya merengkuhku dalam sebuah pelukan hangat.
Pelukan yang aku rindukan. Di tengah lalu lalang keramaian, keluarga kecil kami terlihat sangat bahagia.
Penuh tawa, penuh kasih, hanya kami bertiga. Imelda kecil punya kebahagiaan yang sempurna.
Sebelum hujan itu, kami masih bahagia.
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Menghirup aroma sehabis hujan, aroma yang menenangkan, tapi aku tidak suka segala yang berkaitan dengan hujan. Langit semakin gelap. Halte semakin sepi.
Aku mengusap wajahku. Aku tahu ini bukan saatnya untuk menangis. Tapi..mengingat Mama membuat hidup ini terasa tak adil bagiku. Kehilangan mama berarti kehilangan semuanya, termasuk kehilangan sosok papa yang dulu.
Aku iri, aku iri bila teman-teman sekolahku di jemput papa mereka dengan senyuman dan pelukan hangat. Bila mereka bercerita menghabiskan weekend untuk berlibur. Aku juga ingin menghabiskan waktu seperti itu.
Trauma masa lalu membuat kami terkekang di dalam rumah. Tak berani hanya untuk menengok bagaimana dunia hari ini? Tak sempat hanya untuk berfoto mengisi album kenangan kami.
Katanya rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, tapi bagiku rumahku adalah penjaraku.
Aku terisak, tak peduli siapapun menganggapku aneh. Aku hanya lelah hidup dalam situasi ini. Aku ingin waktu kembali berputar, aku ingin tidak ada hujan saat itu.
Ini tak adil, mengapa mama pergi? Mengapa mama menyisihkan banyak luka pada hari kepergiannya? Mengapa? Mengapa, ma?
Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Derai hujan tak lagi berhenti, malah semakin deras mengguyur. Handponeku bergetar terus-menerus. Papa menelfonku sejak tadi dan aku terlalu sakit untuk menerimanya saat ini.
Ku hubungin Nala sahabatku.
"Halo, Mel. Kenapa?"
aku menjawabnya dengan terisak. Di ujung sana terdengar suara seperti gesekan disusul suara Nala yang agak melengking. "Mel! Kamu kenapa, mel?! Kok nangis?!"
"A.. Aku mau menginap dirumahmu. Bo.. Boleh tidak?" sambil menyeka air mata aku mencoba bicara pada Nala.
Terdengar hembusan nafas berat di ujung sana.
"Kamu kenapa lagi dirumah, mel? Kamu gak papa kan? Yaudah aku tunggu kamu dirumah ya."
"Makasih, Nala."
"Bukan apa-apa, Melda. Emang udah kewajiban aku sebagai sahabatmu. Ku tunggu oke?"
"Oke, bye." sambungan terputus.
Aku mengetikkan serentetan kata berisi izin untuk menginap di rumah Melda. Aku tahu papa pasti mengerti. Setelah memastikan pesan dibaca, aku segera beranjak. Suasana sekelilingku sepi. Rumah Nala hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari halte sekolah, hanya tinggal lurus kemudian menyebrang dan belok ke kanan. Aku berencana berjalan kaki.
Tubuhku lunglai tak bertenaga di bawah guyuran air hujan. Semuanya mulai basah dan terasa dingin. Membekukan hatiku, lagi.
Mataku fokus pada kaki-kaki yang berusaha mencari jalan pulang. Tanpa kusadari, tiba-tiba telingaku berdengung oleh suara klakson. Aku lupa, aku lupa jika aku tengah menyebrang. Lampunya menyilaukan mataku. Kemudian semua seperti di perlambat. Apakah aku akan mati hari ini? Bias wajah mama memenuhi isi otakku. Dia tersenyum, senyum yang sama di malam penuh hujan itu. Aku membalas senyumnya.
Tiinnnnnnn....Sreett..
Apakah aku sudah mati, ma? Jantungku, jantungku masih berdegub kencang. Aku mendengarnya jelas sekali, seperti jantungku telah berpindah ke telingaku.
Oh, beginikah bau akhirat? Wanginya seperti wangi greentea bercampur cokelat. Manis dan segar.
Aku membuka mataku. Tidak? Aku belum mati. Aku masih di jalanan yang sama, dalam pelukan seseorang.
"Kamu bodoh, Imelda!"
Bersambung...