Sabtu, 19 Mei 2018

Ini tentang Hujan 3

Aku membuka mataku. Tidak? Aku belum mati. Aku masih di jalanan yang sama, dalam pelukan seseorang.

"Kamu bodoh, Imelda!"

~

Rasa yang meluap-luap ingin ku tumpahkan. Sesak memenuhi rongga dadaku. Dalam senyap malam, dipenuhi suara derai hujan. Aku terisak keras, di dalam pelukan laki-laki itu. Tak peduli apa katanya nanti, bagaimana penglihatan orang yang lewat. Aku lelah, ku mohon biarkan tetap seperti ini.
Laki-laki itu mengeratkan pelukannya. Suara degub jantung yang ku dengar tadi adalah miliknya. Aku membenamkan kepalaku di dadanya, tangannya meraih kepalaku.

"Menangislah jika kamu ingin menangis. Karena yang dapat ku lakukan hanya memelukmu, menenangkanmu. Namun lukamu, aku tidak akan pernah bisa menghapusnya dari hatimu."

~

"Udah baikan?"

Aku mengangguk. Ah, bodohnya kamu imelda. Aku merutuki kebodohanku sendiri. Berpelukan? Di tengah hujan? Di tengah jalan? Dengan laki-laki yang gak aku kenal?
Aku menunduk sambil meringis. Bibir bawahku ku gigit pelan sambil mataku menatap pada sepasang sendal rumah yang ukurannya lebih besar dari milikku, celana training yang juga terasa sangat longgar, dan kaos oblong berwarna putih dengan corak simetris.
Harum greeantea menyeruak ke dalam indra penciumanku.

"Kamu disini dulu, aku turun sebentar cari makanan." aku langsung mengangguk beberapa kali, aku canggung sekali.

Ku pandangi punggungnya hingga hilang di balik pintu yang tertutup.

"Arghh!!! Kenapa kamu disini, mel?! Kamu kan mau ke rumah Nala! Gimana kalau cowok itu jahat?! Gimana kalau dia bakalan lecehin aku?! Gimana kalau dia apa-apain aku?! Gimana kalau tiba-tiba aku gatau dia masukin sesuatu ke minumanku?! Gimana kalau dia bunuh aku terus masukin aku ke koper?! Gimana kalau kopernya gak muat terus aku di mutilasi?! Gimana kalau... "

"Kamu ngomong apa sih?! Hahahahahaha" di ujung sana Andro bersandar di kusen pintu apartemen. Dia tertawa terbahak-bahak sambil terkadang memukul-mukul pintu apartemen atau tembok.

~fb

"Kamu bodoh, Imelda!"

"Kamu gak ngerti! Aku pengen ketemu mama! Aku benci hujan! Benci karena hujan ngambil mamaku! Aku juga pengen di peluk sama mama, shopping bareng mama, di masakin omelet sosis kesukaanku sama mama! Gak kayak omelet sosisnya papa yang tiap hari rasanya beda-beda! Kamu gak ngerti saat kamu jadi orang yang takut pada hujan dan keramaian! Kamu gatau gimana rasanya jadi aku dan papa! Ka.. Kamu.. Kamu.. " rasa sesak memenuhi rongga Imelda. Nafasnya tak teratur dan tersendat.

Imelda segera melepaskan pelukannya. Dengan nafas tersendat dia mengorek isi tasnya, melempar barang yang tak ia cari. Andro yang melihatnya terlihat kebingungan.

"Kamu cari apa sih? Ini hujan dan kamu bukain tas kamu! Nanti isi dalamnya basah semua!" Andro setengah berteriak karena separuh suaranya tertelan suara deru hujan.

"In.. In.. Ha.. L.. Llerr.. R.. Hhh... " nafas Imelda semakin tersendat.

"Kamu asma?!"
Andro segera duduk dan meraih paksa tas Imelda. Dia mengorek semua isinya dengan ganas. Seperti anjing yang mengorek tanah karena mencari tulang yang tertanam. Imelda sempat tersenyum tipis sekali, bahkan sama sekali tak kelihatan jika ia tersenyum.

"Ketemu!" sorak Andro mengacungkan inhaler. Tingkahnya sama seperti anak kecil yang baru saja menemukan barang kesukaannya yang hilang.
Imelda meraihnya dan menyemprotkannya beberapa kali. Secara perlahan Imelda mulai bernafas dengan normal.

"Hei, kamu hampir buat aku mati jantungan." rutuk Andro. "Namaku Andromeda. Panggil saja Andro."

Andro menatap Imelda. Dan kemudian tanpa dia sangka, tubuh Imelda hampir bersentuhan dengan trotoar jika saja tangan kiri Andro terlambat menahannya. Imelda pingsan.

~

Dan akhirnya aku terdampar disini. Di apartemen Andro. Kenapa dia gak bawa aku ke rumah sakit sih?

"Hahahahahahahaha" Andro masih tetap tertawa sambil memukul-mukul tembok. Dahinya menempel di tembok juga. Pose apa itu? Darisini dia terlihat... Tampan.
Eh?

"Ka.. Kamu pikir ini lucu? Kenapa kamu bawa aku ke apartemen coba?! Kenapa gak bawa aku ke rumah sakit?"

"Karena gak mungkin kalau aku yang harus bawa kamu ke rumah sakit. Lagian tadi aku udah panggil dokter dan katanya kamu udah gak kenapa-kenapa."

"Te.. Terus yang gantiin pakaianku siapa?! Jangan bilang kalau.. Kalau.. " kata-kataku terhenti ketika Andro melangkah ke arahku sambil tersenyum. Kenapa dia terlihat sempurna?

Tuk.. Jari Andro menyelentik dahiku.
"Aw!" aku meringis sakit. "sakit tau!"

Andro menyeringai "Makanya itu kepala jangan dibuat banyak mengkhayal. Yang ganti bajumu itu Oma."

"Oma?"

"Iya, petugas yang bersihin kamar apartemen."

"Hhh.." aku menghela nafas lega.

"Segitu pengennya kamu di gantiin sama aku?" Andro menunduk menatap wajahku yang lebih rendah darinya. Jarak wajahnya hanya beberapa senti. Wajahku panas dan jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya.

"Lima meter!" aku berteriak dan langsung ambil langkah seribu untuk mundur. "Mulai sekarang jaga jarak lima meter dariku!"

"Hahahahahahaha" Andro tertawa lagi. Dia pikir ini lucu? Itu membuatku hampir mati karena jantung ini memompa darahku lebih cepat.

Krukkkekkk..

Mataku melotot. Pipiku lagi-lagi panas menahan malu. Kedua tanganku secara refleks menutup perut. Tapi hasilnya, perutku tetap berbunyi.

"mpph.. Mpph.. Bbwahahaha" itu membuat tawa Andro semakin keras.

"Sudah sana cari makan! Aku lapar!" rutukku. Andro perlahan menghentikan tawanya.

"oke oke.. Hahaha" tubuhnya berbalik menghadap pintu. Namun baru beberapa langkah dia berbalik lagi.

"Loh ngapain balik?" ketusku.

"Niatku tadinya mau ambil dompet yang tertinggal. Begitu buka pintu malah menemui badut sirkus yang lagi ngomong sendiri.. Hahahahaa"

"Ih.. Apa-apaan sih kamu!" aku memukulnya sebal.

"Iya-iya, Sorry. Hahahaha" setelah mengambil dompetnya Andro berlari menuju pintu. Bisa ku dengar dia masih tertawa hingga lorong.

Aku tersenyum. Lucu sekali.
Aku baru teringat belum mengabari Nala. Tanganku sibuk meraih dan mengorek isi tas dan akhirnya tanganku meraih ponsel yang ku cari.

50 panggilan tak terjawab
43 pesan

Dan semuanya dari Nala. Aku langsung mengetikkan sederet kata yang mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan minta maaf karena tidak bisa menginap. Tidak lupa menyuruhnya bilang ke papa kalau aku sudah ada di rumahnya dengan selamat.

Kejadian hari ini sangat melelahkan dan penuh kejutan. Bertemu dengan Andro adalah salah satu kejutannya.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Jumat, 06 April 2018

Ini tentang Hujan 2

Hari berikutnya tetap sama. Hujan pecah sejak pagi. Hujan bulan ini sangat setia menemani sepanjang senja di bulan November. Tempat duduk halte sudah panas, bergesekan dengan kain sifon milikku. Aku mengubah posisi dudukku setiap menit sekali. Bukan apa, aku hanya ingin memecah kebosanan. Earphone menggantung pasrah dari telingaku. Ku atur volumenya melebihi aturan seharusnya. Aku marah, aku bosan, aku benci hujan. Aku hanya ingin menangis.
Lagi dan lagi, mobil tua papa membuatku harus terjebak disini.
Hal yang paling membuatku muak adalah papa, keputusan papa yang tidak pernah mengizinkanku hanya untuk sekedar naik bus. Jangan tanya mengapa aku tidak bertanya, aku sudah bertanya, dan hasilnya? Khotbah panjang lebar tentang tidak amannya angkutan umum untuk gadis seusiaku. Preman, perampok, makhluk mesum, seakan di otak papaku bus adalah sarang para monster yang akan melahap gadis kecilnya.
"Aku bukan anak kecil, papa! Aku sudah enam belas tahun! Aku bisa menjaga diriku sendiri!" begitu setiap kali aku meneriaki papaku. Aku tau ini salah, aku tau papaku selalu mengkhawatirkanku, aku tau, aku tau bahwa keramaian adalah ketakutan terbesar papa. Aku tau papa hanya takut kehilangan satu lagi perempuan yang dicintainya. Tapi bagiku, seorang remaja yang butuh kebebasan penuh, aku terkekang.

Sepuluh tahun lalu, mamaku sedang tersenyum di tengah festival kembang api. Senyumnya lebih terang daripada kembang api yang meledak di udara.
Tangannya merengkuhku dalam sebuah pelukan hangat.
Pelukan yang aku rindukan. Di tengah lalu lalang keramaian, keluarga kecil kami terlihat sangat bahagia.
Penuh tawa, penuh kasih, hanya kami bertiga. Imelda kecil punya kebahagiaan yang sempurna.
Sebelum hujan itu, kami masih bahagia.

Aku menghirup nafas dalam-dalam. Menghirup aroma sehabis hujan, aroma yang menenangkan, tapi aku tidak suka segala yang berkaitan dengan hujan. Langit semakin gelap. Halte semakin sepi.
Aku mengusap wajahku. Aku tahu ini bukan saatnya untuk menangis. Tapi..mengingat Mama membuat hidup ini terasa tak adil bagiku. Kehilangan mama berarti kehilangan semuanya, termasuk kehilangan sosok papa yang dulu.
Aku iri, aku iri bila teman-teman sekolahku di jemput papa mereka dengan senyuman dan pelukan hangat. Bila mereka bercerita menghabiskan weekend untuk berlibur. Aku juga ingin menghabiskan waktu seperti itu.

Trauma masa lalu membuat kami terkekang di dalam rumah. Tak berani hanya untuk menengok bagaimana dunia hari ini? Tak sempat hanya untuk berfoto mengisi album kenangan kami.
Katanya rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, tapi bagiku rumahku adalah penjaraku.

Aku terisak, tak peduli siapapun menganggapku aneh. Aku hanya lelah hidup dalam situasi ini. Aku ingin waktu kembali berputar, aku ingin tidak ada hujan saat itu.
Ini tak adil, mengapa mama pergi? Mengapa mama menyisihkan banyak luka pada hari kepergiannya? Mengapa? Mengapa, ma?

Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Derai hujan tak lagi berhenti, malah semakin deras mengguyur. Handponeku bergetar terus-menerus. Papa menelfonku sejak tadi dan aku terlalu sakit untuk menerimanya saat ini.
Ku hubungin Nala sahabatku.

"Halo, Mel. Kenapa?"
aku menjawabnya dengan terisak. Di ujung sana terdengar suara seperti gesekan disusul suara Nala yang agak melengking. "Mel! Kamu kenapa, mel?! Kok nangis?!"
"A.. Aku mau menginap dirumahmu. Bo.. Boleh tidak?" sambil menyeka air mata aku mencoba bicara pada Nala.
Terdengar hembusan nafas berat di ujung sana.
"Kamu kenapa lagi dirumah, mel? Kamu gak papa kan? Yaudah aku tunggu kamu dirumah ya."
"Makasih, Nala."
"Bukan apa-apa, Melda. Emang udah kewajiban aku sebagai sahabatmu. Ku tunggu oke?"
"Oke, bye." sambungan terputus.

Aku mengetikkan serentetan kata berisi izin untuk menginap di rumah Melda. Aku tahu papa pasti mengerti. Setelah memastikan pesan dibaca, aku segera beranjak. Suasana sekelilingku sepi. Rumah Nala hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari halte sekolah, hanya tinggal lurus kemudian menyebrang dan belok ke kanan. Aku berencana berjalan kaki.
Tubuhku lunglai tak bertenaga di bawah guyuran air hujan. Semuanya mulai basah dan terasa dingin. Membekukan hatiku, lagi.

Mataku fokus pada kaki-kaki yang berusaha mencari jalan pulang. Tanpa kusadari, tiba-tiba telingaku berdengung oleh suara klakson. Aku lupa, aku lupa jika aku tengah menyebrang. Lampunya menyilaukan mataku. Kemudian semua seperti di perlambat. Apakah aku akan mati hari ini? Bias wajah mama memenuhi isi otakku. Dia tersenyum, senyum yang sama di malam penuh hujan itu. Aku membalas senyumnya.

Tiinnnnnnn....Sreett..

Apakah aku sudah mati, ma? Jantungku, jantungku masih berdegub kencang. Aku mendengarnya jelas sekali, seperti jantungku telah berpindah ke telingaku.
Oh, beginikah bau akhirat? Wanginya seperti wangi greentea bercampur cokelat. Manis dan segar.

Aku membuka mataku. Tidak? Aku belum mati. Aku masih di jalanan yang sama, dalam pelukan seseorang.

"Kamu bodoh, Imelda!"

Bersambung...

Selasa, 06 Februari 2018

Ini tentang Hujan 1

Hujan. Ku pandangi hujan yang jatuh dari langit berupa butiran, dan pecah berdentum di aspalan.
Hujan, mulai membuatku bosan. Seragam putih abu-abu yang ku kenakan sedikit basah. Hawa dingin merasuki tubuh hingga rasanya aku akan menggigil. Lagi-lagi aku mendesah kesal, dan untuk kesekian kalinya aku merutuki, bahkan menyumpahi hujan.
Aku benci hujan. Hujan membuatku bosan.
Aku letih menunggu, aku tidak suka menunggu karena hujan.
Kabarnya sopirku tengah berseteru dengan mobil tua papa. Emh, maksudku mobil itu mogok untuk, entahlah keberapa kalinya.
Yang pasti, papa menyuruhku berteduh dulu di halte.
Halte sekolahku tak cukup luas. Jadi sesekali angin akan membawa air-air yang terjun dari mega itu menuju ke arahku. Membasahi rambutku, bajuku, tubuhku. Dan aku tidak suka itu.
Aku menghela nafas, mencoba sabar dengan cobaan ini.
Daguku ku topangkan pada tangan kanan yang juga bertopang pada paha. Bibirku mengerucut, segi lima, segi enam, lonjong atau apalah itu bentuk bibirku yang sekarang. Aku tak peduli. Aku cukup kesal hari ini.

Satu-persatu siswa yang ikut berteduh mulai hilang. Hanya tinggal aku dan seorang laki-laki. Adik kelas? Ku rasa tidak. Entahlah siapa laki-laki itu. Yang pasti ia menyukai hujan, begitu kesimpulanku ketika tangan kanannya terus mencapai tepian halte untuk menangkap tetesan hujan sedang tangan kirinya ia masukkan ke saku celana.
Matanya terpejam damai. Bibirnya menyunggingkan senyum simpul. Rambutnya lepek terkena air hujan. Kulitnya putih, tionghoa ya?
Entah sudah berapa lama ku perhatikan laki-laki itu. Tapi ia tak juga bergeming dari tempatnya, tentu saja dalam posisi yang sama.
Satu yang aku dapatkan, ia tampan.
"Non Melda!" aku tergagap. Sopirku memanggil dari dalam mobil. Pak Hardi segera turun sambil membawakan payung.
"Kok lama sekali sih, pak? Saya capek suruh nunggu! Besok-besok kalau mobil bermasalah bapak bilang ke saya, nanti saya bisa pesan taksi."
"Ah, iya non. Tadi kata Tuan tetap saya yang harus jemput. Soalnya kata Tuan, Tuan gak percaya non bisa pulang sendiri. "
"Huff.. Memang aku anak kecil apa?!" aku merutuk lagi. "Yaudah ayo pulang!"
Sesaat sebelum aku melangkah, aku membalikkan tubuh. Sosok yang ku cari telah lenyap. Cepat sekali, atau jangan-jangan.. Dia hantu?